18 April 2010

arogansi berbicara

Seonggok tulang yang digores pedang menjadi penyebab dibongkarnya bangunan yang telah mulai dibangun untuk pembangunan masjid. Saya masih suka membaca kisah teladan itu. Salah satu kisah yang membuat saya begitu terharu. Bagaimana sikap seorang pemimpin yang begitu mengayomi rakyatnya. Bahkan ketika rakyat tersebut adalah seorang yahudi yang berbeda kepercayaan dengan pemimpin. Itulah Umar ibn Khattab.

Apa yang dilakukan Pemprov DKI sama sekali tidak mencerminkan sikap keteladanan pemimpin. Mengerahkan begitu banyak Satpol PP ke areal makam Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad Husain Ass Syafi’i (Mbah Priok). Membenturkan Satpol PP dengan rakyat untuk kepentingan penguasa yang mungkin hanya melihat dari dalam gedung dengan fasilitas hasil uang rakyat. Rakyat bahkan tidak diberi hak dengar sama sekali untuk sekedar mengetahui rencana penguasa. Sehingga bentrokan pun tak dapat dihindari. Rakyat yang menyangka makam seorang wali Allah sedang terancam digusur merasa berkewajiban melindungi makam sampai tetes darah penghabisan. Satpol PP yang merasa ini adalah tugas negara walau ada benturan dengan hati nurani, terpaksa menjalankan perintah penguasa.

Priok berdarah. Banyak korban luka baik dari pihak polisi, satpol pp, maupun dari rakyat. Bahkan dikabarkan ada yang meregang nyawa. Indonesia kembali berduka. Ibu pertiwi meneteskan air mata.
Saya mahfum pada zaman ini sudah sangat sulit memiliki pemimpin seperti Umar ibn Khattab. Bahkan untuk berharap saja saya tidak berani. Terlalu banyak tikus kotor yang mengisi kursi kepemimpinan. Korupsi, Suap, Mafia, hampir setiap hari mengisi headline surat kabar dan sepertinya ada pada seluruh sendi kekuasaan. Ah saya bosan. Namun dengan begitu banyaknya pengkhianatan atas rakyat, janganlah ditambah lagi dengan mengusik langsung kehidupan rakyat. Mbah Priok merupakan ulama yang sangat dihormati. Beliau diyakini merupakan seorang wali Allah. Ketika makam beliau diusik, maka rakyat tidak akan segan melawan. Meski nyawa taruhannya. Ditambah lagi dengan makin hilangnya kepercayaan rakyat atas permainan politik penguasa. Lengkaplah sudah.
Kali ini arogansi penguasa berujung pada darah dan nyawa. Cukup sudah. Kita semua harus banyak belajar dari kejadian ini. Penguasa seharusnya lebih mengedepankan negosiasi dan melakukan pertemuan dengan tokoh masyarakat maupun ulama setempat dalam masalah yang berhubungan langsung dengan rakyat. Nilai-nilai yang ada pada masyarakat tidak bisa di hancurkan begitu saja. Sengketa tanah yang bersinggungan dengan nilai-nilai masyarakat seharusnya bisa diputuskan dengan lebih bijak, bukan dengan memaksakan kehendak. Demikian juga dengan masyarakat, hendaknya kita jangan sampai mudah terprovokasi sehingga melakukan hal yang pada akhirnya merugikan masyarakat itu sendiri.
Karena atas nama kemerdekaan, kita adalah keluarga!
http://umum.kompasiana.com/2010/04/16/ketika-arogansi-berbicara/

No comments:

Post a Comment