06 June 2012

Mahar

Sudah kusiapkan permintaan maharmu
Tujuh gram cincin emas, sayang
Tanda kasih yang akan manis melingkar di jarimu

Jangan khawatir, sayang
Kau berhak dan aku mampu

Dua gram untuk kita, katamu
Sebab tujuh adalah sebab kau mau sedikitnya lima anak
menyandang namaku di belakang namanya.

Yang pertama meyakini dua kalimat syahadat
( yang benar-benar mematuhi Allah sebagai satu-satunya Tuhan serta meyakini kenabian Muhammad, sayang
bukan yang menghamba uang dan menjadikannya setara Tuhan,
juga bukan yang menyaksikan Tuhan namun menjadikan setan sebagai panutan )

Yang kedua menjaga sholat
( bukan mereka yang sholat lalu setelah selesai sesama muslim mereka umpat )

Yang ketiga menunaikan zakat
( tentu saja dari harta yang halal,
bukan berzakat hanya untuk menutupi aktivitasnya merampok uang rakyat )

Yang keempat mengerjakan puasa
( agar ketika menjadi pemimpin, ia akan mendahulukan kepentingan mereka yang kelaparan )

Yang kelima melaksanakan haji
( yang ku maksudkan disini mabrur, sayang
bukan untuk sekedar gelar di depan nisan )

Amboi indahnya mimpimu, sayang
Namun beratnya bagi kesungguhanku

Persiapkan saja mahar itu, katamu
Soal anak-anak kita - andai jadi kusunting kamu -
Biar Tuhan yang menilai,
Biar Tuhan yang menentukan,
Adakah kita mampu.

(Gara-gara bca puisi Ikhtiar)

04 June 2012

Kopi Pahit

Hujan kembali bersenandung. Rinai kecil menghempas bergemericis. Titik-titik halus berjatuhan. Udara mengepakkan sayap menyisir kulit.


Sejuk. 
Dingin. 
Kunikmati sembari menulis dengan didampingi kopi hangat. 
Asapnya mengepul. Menguar. Membentuk gumpalan-gumpalan yang seketika bersembunyi ketika ku hembuskan nafas.


Duduk merenung. Berfikir. Dingin seperti ini masih bisa ku atasi. Dengan suguhan kopi panas dan jaket tebal serta atap tempat berlindung.


Adakah yang melindungi mereka disana? Anak-anak jalanan itu. Oh ya mereka seharusnya dipelihara negara. Negara yang terkadang menganggap mereka hama yang harus dienyahkan. Melihat mereka meminta belas kasihan bermodal gemericik tutup botol bekas. Terkadang masih ada manusia yang bahkan memberikan senyum pun tak terlintas.


Apa yang bisa kulakukan? Tidak ada. Sekuat apapun usaha. Aku terbatas oleh batas yang mungkin tanpa sadar kuciptakan sendiri.

Kopi yang kuhirup terasa makin pahit.

29 May 2012

Jangan Begitu

Jangan begitu,
Aku tak kata cinta
Bukannya tak mau
Aku tak sanggup
Malu,
Melihat wajahmu bersemu

Jangan begitu,
Aku tak ucap sayang
Bukannya tak ingin
Gugup,
Melihat bibirmu mengatup

Jangan begitu,
Aku tak bilang suka
Bukan tak hendak
Gemetar,
Melihat matamu menghujam

Panas terik begitu menyengat
Membuat pipimu merah
Kumaki diri dalam hati betapa bodohnya
Kau tepis
Senyum mengembang, masih dengan pipi yang merah
Tidak, katamu, aku senang


Aku terpaku
Membeku kaku
Hingga puluhan tahun berlalu


Cinta kurasa
Akan terus begitu

The Eighties!

Sumber : Facebook

25 May 2012

pembunuh berwajah kekanakan

Hari masih begitu muda. Bumi benderang dibalut hamparan cahaya mentari dhuha. Panasnya tidak begitu menyengat namun tak urung menyebabkan tetesan keringat. Sebagian terangnya diserap hijau dedaunan sebagai katalisator mekanisme fotosintesa. Menghasilkan oksigen bagi seluruh mahluk jagat raya. Disediakan secara cuma-cuma, sebagai perwujudan ibadahnya kepada Allah Sang Maha Pencipta. Sebagian lagi terangnya menelusup melalui sela-sela dedaunan. Serupa lorong cahaya yang jatuh menuju permukaan bumi. Lalu hinggap menyelimut rerumputan luas di Lapangan Utama SMA Lapan Palembang.
Kondisi lapangan utama SMA Lapan saat ini disesaki begitu banyak murid baru. Mereka membentuk lingkaran masing-masing sesuai dengan kelompok kelas yang telah dibagi sebelumnya. Namun, walau termasuk siswa baru, aku tak ada di lingkaran itu. Aku berdiri terengah-engah di sisi lain lapangan rumput ini. Nafasku menderu seakan berpacu untuk keluar lebih dulu. Bulir-bulir besar keringat mengalir deras sebelum menetes jatuh. Jantungku berdegup serupa derap sepatu boots tentara di atas lantai marmer. Aku nyaris takjub ketika kupikir aku bisa mendengar suara detak jantungku sendiri. Namun tak ada waktu untuk takjub, tak ada waktu untuk berpikir. Aku harus waspada dan kembali melaju, kalau tidak ia akan segera menangkapku. Wanita sinting itu.