24 February 2009

Saat Koboi harus menghadapi Sherrif : Preview Pertandingan Inter vs MU

Liga Champions tahun ini akan menghadirkan sajian menarik dan berkelas. Terutama pada dua pertandingan yang mempertemukan 2 tim dengan kelas yang ditakdirkan untuk menjadi juara. Liverpool vs Real Madrid dan tentu saja Manchester United vs Inter Milan.

Hanya membicarakan pertemuan Inter Milan vs Manchester United akan terasa hambar sehambar sayur kurang terasi karena sudah jelas MU lah yang akan keluar sebagai pemenang namun yang menjadikan partai ini susah ditebak adalah Jose Mourinho sebagai otak yang membuat Inter Milan terlalu berbahaya untuk sekedar diberikan peluang

Masih ingat dalam ingatan ketika Manchester United yang bestatus unggulan berhasil dipecundangi tim yang sama sekali tidak diunggulkan di perempatfinal Liga Champion 2003/2004. Ketika jari tengah Jose Mourinho mengacung ke supporter Manchester United yang masih tidak bisa menerima kegagalan di tangan tim semenjana. Sejarah kemudian mencatat bahwa tim semenjana itu akhirnya menjadi juara Liga Champions 2003/2004 dengan Jose Mourinho dibelakangnya, FC Porto.

Jose Mourinho adalah satu dari sedikit pelatih berkapasitas world class di jagad persepakbolaan dunia. Mungkin hanya Sir Alex Ferguson pelatih yang kualitasnya sedikit lebih baik dibanding Jose Mourinho itupun karena pengalaman yang dimiliki Sir Alex. Lebih dari itu, tidak ada yang bisa menebak mana yang lebih unggul antara Sir Alex vs Mourinho.

Jose Mourinho adalah seorang motivator. Pembangkit semangat dengan cara-cara yang hanya bisa kita temukan pada pilem-pilem holiwut. Masih membekas saat itu ketika Chelsea tidak mampu meraih kemenangan saat pertandingan liga terakhir musim 2006/2007 dan gelar juara akhirnya diraih Manchester United. Ketika para pemain tak dapat menutupi kesedihan. John Terry sebagai kapten tertunduk lesu dan kecewa kehabisan napas, gagal menghadirkan kemenangan. Disaat pemain seharusnya mengutuk ketidak mampuan mereka meraih keunggulan atas lawan. Disaat seharusnya supporter menangisi kegagalan pemain didepan mereka. Tapi apa yang terjadi?? Sekonyong-konyong Jose Mourinho masuk ke lapangan menepuk pundak Terry, memberikan semangat. Mendatangi seluruh pemain Chelsea di lapangan. Membesarkan hati. Lalu datang ke bangku penonton, memberikan bahasa tubuh dengan menunjuk-nunjuk pemain dan memberikan tepuk tangan. Mengajak penonton untuk meng-apresiasi apa yang telah pemain lakukan demi mereka para suporter. Dan ajaib ribuan penonton yang memadati Stamford bridge seperti tersihir. Bunyi tepuk tangan mulai terdengar sedikit, lalu sedikit, dan akhirnya membahana di seisi stadion. Terlihat supporter begitu bangga dengan apa yang telah pemain lakukan. Bahkan tidak sedikit yang mengangguk-anggukkan kepala sembari bertepuk tangan sekeras mungkin. Seakan berfikir bahwa inilah yang seharusnya mereka lakukan. Bahwa ini bukanlah akhir segalanya. Bahwa masih ada kebanggaan yang dapat mereka temukan pada pemain mereka. Dan begitu pun pemain. Mereka yang semula tertunduk lesu kembali menegakkan kepala. Bahwa ini bukanlah kegagalan. Bahwa ini hanyalah sukses yang tertunda. Bahwa mereka, meski telah berjuang hebat namun tetap harus berusaha lebih keras untuk menjadi yang terbaik. Dan hanya satu orang yang mampu menyadarkan mereka akan hal itu. Satu orang yang terlihat berdiri begitu puas memandangi atmosfer Stamford bridge. Satu orang Jose Mario dos Santos Mourinho Felix.

Keberadaan Mourinho selama 3 musim setengah membesut Chelsea memberikan suasana baru di premiership. 2 kali Jose mengangkangi Fergie dengan merajai premiership berturut-turut. Komentar-komentar yang jenius tanpa mengindahkan kaidah rasa alias pedas ditelinga sering terdengar oleh lawan Mourinho tanpa tedeng aling-aling.

Arogansi yang sering diperlihatkan justru menjadikan Mourinho semakin percaya diri akan kemampuannya. Seorang hebat yang sadar betul akan kehebatannya. Dan itu adalah suatu tanda bahaya bagi lawan. Karena sumber utama kehebatan adalah bakat serta arogansi (baca : kepercayaan diri). Dan Mourinho (layaknya Cristiano Ronalo yang menjadi pemain terbaik eropa) memiliki keduanya.

Dan kembali takdir mempertemukan Mourinho dengan Sir Alex Ferguson. Sir Alex Ferguson bukan hanya seorang manajer Manchester United. Dalam 2 dekade terakhir, dia adalah Manchester United itu sendiri. Seorang dedengkot para setan Old Trafford. Ditangan Ferguson, permainan menyerang bukanlah sekedar taktik, melainkan sebuah melodi kematian yang harus selalu dimainkan. Ibarat sebuah orkestra besar. Ketika masing-masing pemain memainkan nada, dengan Cristiano Ronaldo dan Wayne Rooney yang dibiarkan berkreasi memainkan melodi. Dan Sir Alex sendiri yang menjadi dirigen pertunjukan. Memadukan nada menjadi sebuah melodi dari sarang kegelapan pada sebuah panggung impian, the theatre of dreams.

Ketika Jose Mourinho datang ke Inggris, satu perkataan sensasional yang terus diingat ketika dia berbicara kepada jurnalis :

“Please don’t call me arrogant, but I’m European Champion and I think I’m a special one.”

Sebuah arogansi dengan pengakuan kehebatan dan kepercayaan diri tinggi dari seorang Jose Mourinho. Dan ketika Jose Mourinho mulai meraih gelar demi gelar bersama Chelsea, maka Sir Alex pun berkomentar mengenai Jose Mourinho :

“I think he sees himself as the young gunslinger who has come into town to challenge the sheriff who has been around a while.”

Menarik ditunggu kelanjutan cerita pertarungan Koboi sekelas Jose Mourinho dengan Sheriff penguasa Sir Alex Ferguson. Dan kita hanya bisa berharap kedahsyatan duel ini sesuai dengan apa yang seharusnya terjadi dilapangan sehingga pada akhirnya bukan MU atau Inter yang pada akhirnya menang melainkan sepakbola itu sendiri.