15 September 2010

pistol lebaran bandit semuntul

Bop kalu besak gek nak jadi apo...?
Bandit Semuntul.

Itulah dulu cita-cita saat saya kecil. Ketika banyak anak-anak lain yang ingin menjadi pilot, dokter, atau anak-anak jaman sekarang yang kepingin jadi artis. Yang sepertinya sudah biasa bercerai. Padahal jelas-jelas sesuatu yang dibenci Allah. Meski itu dihalalkan. Tapi kelihatannya tanggapan masyarakat juga biasa saja. Tidak seperti ketika menanggapi aksi poligami. Padahal Allah tidak membenci poligami. Tapi tanggapan masyarakat sepertinya itu adalah sesuatu yang kejam. Oh dunia memang sudah tidak menempatkan sesuatu pada kedudukannya. Sudah ah nanti saya disangka kepingin poligami. hihihihi... Balik ke cita-cita itu tadi. Jawaban saya cukup sederhana. Bandit Semuntul. Tidak kurang, tidak lebih.


Tentu saja bukan tanpa sebab. Anak usia 5 tahun mana yang punya jawaban seperti itu dengan sendirinya. Itu tak lain dan tak bukan adalah ulah kakak sepupu saya. Kak heri. Beliau ini yang mengajari saya. Bukan cuma itu yang beliau ajarkan. Pernah saya menyebut kata yang lagi-lagi tidak mungkin saya dapat dengan sendirinya. Lagi-lagi saya harus berterima kasih kepada kak heri karena telah memperkaya perbendaharaan kata saya. Di usia 5 tahun. Bahkan mungkin tidak ada teman-teman saya yang mengetahui arti kata tersebut. Sayangnya, itu salah satu kata yang terlarang untuk diucapkan. Sedikit tidak sopan. Agak jorok istilahnya. Ga perlu lah saya sebut disini. Dan ketika saya dengan polosnya menanyakan arti kata tersebut kepada ibu saya. Marahlah beliau. Saya ditanya siapa yang ngajarin. Saya bilang kak heri. Tidak butuh waktu lama bagi ibu saya untuk menemui kakak sepupu saya tersebut. Setelah ketemu langsung ditanya sama ibu saya,

O ri, ngapo kau ngajari si bop baseng-baseng itu???
Itu bik, aku tu la banyak ngajari ebop. Lamo-lamo abes stok kato-kato aku. Hehehehe...


Semuntul merupakan nama salah satu dusun di pinggiran sungai musi. Bersebelahan dengan Sribangun. Sribangun inilah dusun tempat tinggal gede, yaitu orang tua ayah saya. Waktu kecil saya sering diajak ayah kesini. Minimal setahun sekali. Lebaran hari kedua. Alkisah saya lupa lebaran kapan, itu saat saya SD. Saya diajak ayah ke Sribangun. Bersama ibu dan adik saya. Istri saya tidak saya ajak. Waktu itu belum menjadi istri saya. Meskipun satu kelas waktu SD. Coba kalau saya tau wanita yang biasa saya minta tolong menggambar ini bakal menjadi istri saya. Pasti akan saya ajak ikut ke Sribangun. Belajar berenang. Maen perahu. Mancing iwak betok. Itu juga kalau saya berani. Ah saya jadi mikir, seandainya saya tau wanita ini akan menjadi istri saya. Apakah saya berani? tentu saja tidak. Saya rasa.

Di usia kanak-kanak sampai menjelang remaja. Ketika lebaran tiba. Saya sering membeli pistol mainan. Untuk dimainkan bersama teman-teman maupun sepupu saya. Ada dua jenis pistol mainan yang biasa beredar saat lebaran. Pertama adalah pistol yang memiliki suara besar tapi tidak memiliki peluru. Mirip seperti mercon. Dan yang kedua adalah pistol yang menembakkan peluru plastik kecil. Saya beli dua-duanya. Kalo memegang pistol yang seperti mercon, saya membayangkan diri saya seorang koboi. Tapi tidak pake kucai. Keren sekali waktu itu. Sedang pistol plastik untuk main perang-perangan sama sepupu-sepupu saya.

Di Sribangun tidak ada sepupu saya yang punya pistol mainan. Jadi ada seorang sepupu saya waktu itu. Daarul Hikmah. Itu bukan nama yayasan tertentu. itu nama sepupu saya. Dalam keluarga dia adalah bungsu dari beberapa bersaudara. Saya lupa. Banyak soalnya. Nah di keluarganya, dia biasa dipanggil dengan nama kapten. Saat tertentu, pistol mainan saya rusak. Saya frustasi. Sekuat tenaga saya membongkar habis pistol mainan saya agar bisa berfungsi kembali. Sukses ngebongkar, gagal merakit kembali. Akhirnya saya pun dengan tidak terlalu berharap bertanya kepada kapten.

ten disini ado wong yang jual pistol dak?

Saya ulangi lagi, saya tentu saja tidak begitu berharap. Namun selalu ada titik terang pada sebuah usaha. Tanpa saya duga kapten menjawab,

ado bop.
nian ten?
iyo ado. galak kuanter kesano?
jao dak?
tak ado, disikola.
payo.


Dan kami berdua pun menyisiri sungai musi. Berusaha menemui pedagang pistol disini. Yang katanya tidak terlalu jauh tadi. Setelah ditelusuri memang tidak terlalu jauh. Lebih kurang satu kilometer. Tapi yang menyisiri adalah kaki-kaki kecil saya ketika SD. Ya jauh. Sampai ditujuan saya sudah ngos-ngosan. Kapten sih biasa saja.

Sesampainya di tempat yang dituju saya kembali pesimistis. Saya dibawa kapten ke tempat yang lebih mirip dengan warung kopi. Ya ternyata memang itu. Dan kapten pun tersenyum seperti menyadari pola pikir saya. Saya pun berbisik ke telinga kapten,

ado nian apo disini ten?
ado, tak tekeleh kau bop.


Saya memejam-mejamkan mata berulangkali. Berusaha menajamkan penglihatan saya. Sempat terpikir kalau jangan-jangan ada yang tersembunyi dibalik deretan pempek yang berjejer rapi di meja. Namun tak ada yang terlihat. Kembali saya tanyakan.

mano ten?
iko keni na tak kenado kau tak tekeleh?
mano?
ini?
ujar kapten sembari memegang salah satu pempek kehadapan saya.

Saya yang semula pergi dengan keyakinan tinggi sudah mulai kehilangan harapan. Dan menghilang terusir aroma pempek. Sekali lagi saya bertanya.

apo ini ten?

Dan kapten pun menjawab.

Ujimu tadi nak nyari pistel. Iko keni na banyak pistel disiko.

Saya hanya tersenyum. Kali ini kecut. Berpikir bahwa lain kali saya akan mengeja huruf yang akan saya sampaikan kalo nanti-nanti saya akan bertanya lagi. Kepada siapapun.

No comments:

Post a Comment