25 May 2012

pembunuh berwajah kekanakan

Hari masih begitu muda. Bumi benderang dibalut hamparan cahaya mentari dhuha. Panasnya tidak begitu menyengat namun tak urung menyebabkan tetesan keringat. Sebagian terangnya diserap hijau dedaunan sebagai katalisator mekanisme fotosintesa. Menghasilkan oksigen bagi seluruh mahluk jagat raya. Disediakan secara cuma-cuma, sebagai perwujudan ibadahnya kepada Allah Sang Maha Pencipta. Sebagian lagi terangnya menelusup melalui sela-sela dedaunan. Serupa lorong cahaya yang jatuh menuju permukaan bumi. Lalu hinggap menyelimut rerumputan luas di Lapangan Utama SMA Lapan Palembang.
Kondisi lapangan utama SMA Lapan saat ini disesaki begitu banyak murid baru. Mereka membentuk lingkaran masing-masing sesuai dengan kelompok kelas yang telah dibagi sebelumnya. Namun, walau termasuk siswa baru, aku tak ada di lingkaran itu. Aku berdiri terengah-engah di sisi lain lapangan rumput ini. Nafasku menderu seakan berpacu untuk keluar lebih dulu. Bulir-bulir besar keringat mengalir deras sebelum menetes jatuh. Jantungku berdegup serupa derap sepatu boots tentara di atas lantai marmer. Aku nyaris takjub ketika kupikir aku bisa mendengar suara detak jantungku sendiri. Namun tak ada waktu untuk takjub, tak ada waktu untuk berpikir. Aku harus waspada dan kembali melaju, kalau tidak ia akan segera menangkapku. Wanita sinting itu.
Aku sendiri tak begitu kenal pengejarku. Yang aku tau, kalau sampai tertangkap maka kiamatlah duniaku karena itu artinya aku akan bernyanyi dihadapan semua siswa baru di kelompokku. Benar-benar permainan bodoh, dan masa orientasi siswa baru adalah masa yang tepat untuk memamerkan kebodohan. Aku diberi waktu lima belas menit untuk menghindari kejaran wanita yang tadi mengenalkan dirinya bernama Aida. Dibawah tatapan galak ayuk senior, orang yang memulai semua kedzaliman ini. Dan jangan pernah sekalipun bersembunyi dari sorot matanya karena dalam permainan bodoh ini, menghilang dari pandangannya berarti kekalahan.
Tiap-tiap lingkaran kelompok dipandu oleh seorang kakak atau ayuk senior yang memberikan permainan untuk masing-masing kelompok. Senior yang memandu kami adalah seorang siswi kelas 3 bernama Puri. Ia memiliki rambut panjang dikuncir kuda. Matanya bundar dan semakin bundar terlapis kacamata yang begitu tebal. Kutaksir matanya mungkin sampai minus empat. Hanya ada dua kemungkinan bagi pemakai kacamata setebal itu, yang pertama ia sangat pintar atau yang kedua ia memiliki gangguan kejiwaan. Aku lebih condong pada pendapat kedua. Hanya orang gila yang menyuruh wanita mengejar pria dengan sekuat tenaga.
Lebih gila lagi adalah Aida. Ia mau saja disuruh mengejarku oleh seorang senior gila. Seakan tujuan hidupnya saat ini hanya untuk menyentuh bagian apapun dari tubuhku. Sesungguhnya semua bisa dimaklumi mengingat jika ia tidak berhasil menyentuhku dalam waktu lima belas menit, maka dialah yang akan menjadi pesakitan di depan anak-anak baru lain, bukan aku. Dialah yang akan mengenalkan keindahan suara dihadapan murid baru lain, bukan aku. Dan aku tak perlu bersusah hati memberitahukan betapa miripnya suaraku dengan idola ayahku, Iwan Fals. Mungkin juga setelah mendengarkan alunan suaraku maka mereka akan menyematkan gelar Fals dibelakang namaku. Hanya satu yang membuatku keberatan, tidak seperti Iwan Fals, lafaz namaku tak akan cocok di lidah. Emka Fals, tidak cocok sama sekali. Itulah makanya mati-matian aku berlari menghindari kejaran Aida.
Yang membuatku merinding dan tak habis pikir adalah senyum Aida. Ia mengejarku tanpa pernah melepas senyum dengan kedua bola mata yang membulat seakan ingin menelanku. Kukira ia sama sintingnya dengan senior gila. Ketika diperintah mengejarku, tawanya menggelegar seakan ia telah betul-betul menikmati permainan bahkan sebelum permainan itu sendiri dimulai. Ia memandangku dengan senyumnya. Tatapannya menyenangkan, namun aku tau, dibalik itu bersemayam seorang pembunuh berdarah dingin. Seperti Stephen Norton dalam kisah terakhir Hercule Poirot, pembunuh yang bersembunyi dalam sorot mata kekanakan. Aku gemetar.
Dan diantara semuanya tentu akulah yang paling gila. Pontang-panting dikejar wanita yang aku sendiri tak begitu kenal kecuali namanya. Terengah-engah, namun aku terus berlari. Tak kupedulikan keringat yang mengucur deras, kusingkirkan apapun yang menghalangi jalan. Hanya satu tujuan, berlari sekuat tenaga menghindari sang pembunuh berwajah kekanakan.
“Minggir!” teriakku pada sekumpulan anak yang berdiri bergerombol di koridor sekolah.
Aku berlari serupa orang gila. Sebagian siswa-siswi tertawa cekikikan menunjuk-nunjuk kami. Anak perempuan menyemangati Aida, anak laki-laki juga menyemangati Aida. Tinggallah saat itu aku sendiran seolah melawan seluruh penduduk dunia. Sebagian siswa tak peduli dengan apa yang terjadi pada kami. Mereka juga punya masalah di kelompok mereka sendiri yang harus diselesaikan, sama seperti kami.
Aku masih belum tertangkap. Sekali-kali aku menoleh untuk menilai situasi. Setelah sekian tolehan tak kulihat ada Aida disana, aku masih terus berlari. Kutoleh lagi dan benar tak ada. Kuturunkan kecepatan lari. Dan saat kuyakin tak ada Aida, aku berhenti persis di depan salah satu dinding kelas yang saat itu tengah kosong. Begitu kosongnya seakan tak pernah ada tanda-tanda kehidupan. Kalaulah bukan ruang kelas, aku yakin ada setan yang bersemayam disitu. Setan yang menyaksikan sekumpulan remaja-remaja dalam permainan dunia. Menunggu saat yang tepat untuk memangsa mereka. Terasa desir aliran udara yang lembut di belakang tubuh, bulu kudukku berdiri.
Kutengokkan kepala ke kiri dan ke kanan, melihat-lihat kalau ada siluet Aida di dekat-dekat situ. Tak kutemukan. Nafasku berkejaran, Aku menekan kedua lutut dengan tapak tangan seperti posisi ruku’. Sistem pernafasan bekerja lebih berat dari biasanya. Tubuhku membutuhkan pasokan oksigen yang banyak untuk membakar energi yang tadi kugunakan berlari menghindari kejaran Aida. Masih pada posisi yang sama, aku memandang jauh ke tempat dimana lingkaran kelompokku berada. Puri bergantian melihat ke arahku dan melirik arloji yang melingkar di lengannya. Dia belum memberikan tanda permainan telah usai. Tak kulihat juga Aida disana. Aku harus berhati-hati.
Aku berbalik dan berjalan pelan namun tetap penuh kewaspadaan. Kukira Aida mungkin sudah menyerah mengejarku. Aku adalah salah satu pemain inti di tim sepakbola sekolah. Walau aku tak memiliki stamina yang kuat, tubuhku yang kecil membantuku memiliki kecepatan lari jarak pendek yang tak boleh dipandang sebelah mata. Karena kecepatanku ini jugalah, pelatih kami ketika SMP menempatkanku pada posisi sebagai pemain sayap. Di posisi itu aku memiliki kesempatan besar memperlihatkan kemampuanku dalam adu sprint dengan pemain lawan.
Aku merasa Aida sudah betul-betul menyerah dengan kecepatan yang kumiliki. Mungkin sekarang ia sedang memikirkan untuk bernegosiasi dengan Puri mendiskusikan lagu apa yang sebaiknya ia nyanyikan. Atau mungkin nanti akulah sebagai lawan Aida yang akan diberi kewenangan menentukan lagu yang akan dinyanyikan Aida. Aku tersenyum senang. Langkahku terasa lebih ringan.
Saat itulah tiba-tiba dari dalam kelas yang kosong meluncur sesosok mahluk. Berkelebat. Menjerit histeris menepuk pundakku.
“Ha...!”
Aku terlonjak kaget dan terjengkang jatuh terduduk di lantai. Jantungku berdentang cepat berkejar-kejaran susul menyusul. Ada setan! Kelas ini ternyata memiliki “penghuni”. Sejak pertama aku melihat kelas ini aku seharusnya tau. Bulu kuduk tak mungkin menipu. Tawanya melengking menakutkan. Aku bahkan tak berani menolehkan kepala untuk melihat sosoknya. Aku merangkak menjauh. Tubuhku bergeletar menyingkirkan keberanian hingga yang tertinggal hanya perasaan takut. Mulutku komat-kamit membaca surat-surat pendek yang kuhafal. Kulya-Kulhu Kulya-Kulhu Ayat Kursi berusaha mengusir setan tadi. Aku berharap saat itu aku pingsan saja, hilang kesadaran. Agar tak perlu aku melihat wajah mengerikan sosok yang saat ini sedang berdiri di belakangku. Sosok yang sedang bersiap membawaku menemaninya ke alam kubur.
Beberapa detik kemudian kusadari seisi sekolah mulai memperhatikan tingkahku. Menunjuk-nunjuk kepadaku dan tertawa. Gadis-gadis yang tadi menyemangati Aida tertawa cekikikan menutup mulutnya dengan tangan sembari berkumpul dan berbisik satu sama lain melirik ke arahku. Siswa laki-laki tertawa terbahak menunjuk ke arahku. Bahkan ada yang sampai memegang-megang perutnya tak kuasa menahan tawa yang terus berderai.
“Ha ha ha”
Tawa setan yang berdiri di belakangku semakin menggelegar. Lalu aku menyadari sesuatu. Tawa setan itu seolah tak asing. Kukumpulkan keberanian yang tadi telah tercerai berai, perlahan aku memutar kepala dan melihat kebelakang. Lalu disanalah kulihat ia berdiri, dengan tawanya yang persis sama. Aida, dengan tatapan penuh kemenangan.

No comments:

Post a Comment