02 June 2010

dempo, 10 tahun lalu

Ini cerita sudah lama. Sekitar 9-10 tahun lalu. Terinspirasi catatan teman saya, Ayas. Pendakian gunung dempo. Mencoba menggali lagi hal-hal yang bisa saya ingat. Itu kalo ga salah masih kelas 2 SMA. Saya masih imut-imutnya. Masih banyak pans. Dari guru sampe adek kelas. Bahkan kakak kelas juga. Dicubit-cubit sampe merah-merah badan saya. Sekarang sih masih sama. Tetep banyak pans. Bedanya dulu dan sekarang cuma dicubit sama ditabok.


Kalo ga salah waktu itu mau perpisahan kelas. Dari kelas dua menuju kelas tiga. Saya lupa ini ide siapa. Tau-tau anak-anak pada ngajakin ke dempo. Hayo dah. Ada saya, hasan, ade, feri, rayan, maruli, dan fauzi. Yang susah tinggal minta izin sama orang tua. Maklumlah kelas dua SMA masih rada susah kalo mau minta izin naik gunung. Akhirnya saya di izinkan juga. Tapi saya bilang ke pagaralam dan tidak menyinggung dempo sama sekali. Saya tidak bohong, tapi juga tidak jujur. Ah,,, mudah-mudahan Faaiz dan Fariha tidak meniru saya. Orang tua percaya karena saya memang dikenal jujur oleh orang tua. Pernah ada pengalaman saya ngembaliin ongkos yang dikasih orang tua ke saya. Hanya karena saya dikasih lagi ongkos sama kakek saya. Itu cerita ibu saya. Ah betapa saya kangen pada sifat saya yang seperti itu. Meski saya tidak pernah menyadarinya.



Berangkatlah kita ke pagaralam dengan menggunakan bus. Naik dari bawah proyek, alias Jembatan Ampera. Jaman saya SMA, terminal masih ada disana. Sekarang sudah pindah ke karya jaya. Arah kertapati. Perjalanan ditempuh sore hari. Berbekal sarden dan mi instan, tentu saja. Bawa gitar juga. Buat genjrang genjreng. Ini adalah pengalaman pertama saya bepergian keluar Palembang tanpa ditemani orang tua. Itu kalo saya tidak salah. Sepanjang perjalanan saya memandang keluar jendela. Sambil bersenandung ria.
"Perjalanan ini terasa sangat meletihkan, sayang kau tak duduk disampingku kawan. Banyak cerita yang mestinya kau saksikan, di tanah kecil bebatuan",
Karya salah satu idola orang tua saya. Selain Iwan Fals dan Bang Raden Haji Oma Irama. Cuma kita duduk di kursi belakang. Tapi tetap tidak mengurangi keasyikan perjalanan pertama saya.

Sampai di pagaralam masih sekitar tengah malam menjelang sebelum subuh. Saya lupa tepatnya. Akhirnya kami istirahat di balai Pak Anton. Beliau ini penjaga disini. Dingin menusuk tulang. Pengen balik ke rumah trus meringkuk dibawah selimut. Tapi ini tantangan bung! Awal jati diri saya sebagai pejantan. Meski tetap kurang tangguh. Tapi juga ga tambun. Jangan cengeng. Namun tetap saja ngantuk. Saya tertidur. Saya dibangunkan untuk solat subuh. Begitu menyentuh air, saya kaget. Ini air es! Wudhu air  es membuat nafas saya sesak. Namun tetap saya tidak boleh mengeluh. Saya pejantan! meski tetap kurang tangguh. Tapi juga belum tambun.


Kebanyakan pendaki senior mendaki saat malam menjelang. Namun kita tidak. Kita mendaki saat siang hari. Menantang terik matahari. Dan membuktikan kalo kita memang pejantan! meski tetap kurang tangguh. Tapi juga belum tambun. Kalo malam gelap soalnya. Kita ga tahan ngantuk. Jalan juga ga keliatan. Maklum masih pemula. Malam kita istirahat dan siang mulai mendaki lagi. Kalo pendaki senior mungkin mendaki cukup satu malam. Kita tidak. Kalo ga salah dua hari dua malam. Sebuah perjalanan panjang pendakian. membuktikan kalo kita pejantan! meski tetap kurang tangguh. tapi juga belum tambun. Hasan menganjurkan memakai odol untuk masker. Agar kulit tidak terbakar. Saya ga mau. Ngapain pake masker. Saya itu pejantan. Meski tetap kurang tangguh. Tapi juga belum tambun.


Setelah  dengan pendakian yang melelahkan. Tidur di gorong-gorong yang airnya kering. Solat maghrib diatas batu dengan berpatokan pada matahari tanpa tau arah kiblat. Tidur berdua dalam satu kantong tidur. Meninggalkan gitar ditengah perjalanan di balik belukar (dan tidak hilang!) Bahkan ada satu personel yang mandi besar keesokan harinya. maaf demi menjaga kredibilitas, untuk yang ini nama dirahasiakan. Akhirnya kita semua sampai pada puncak dempo. Alhamdulillah. Tidak seperti yang saya bayangkan. Ternyata puncaknya kecil. Ga cukup buat maen futsal. Hasan menyuruh saya adzan. Bersama Ade, dia yang paling berpengalaman dalam hal pendakian. Maka saya pun adzan. Seketika ada sesuatu yang menyeruak. Tumbuh keharuan dalam hati saya. Ada apa ini?? Saya tidak mengerti. Mata saya mulai mengeluarkan embun. Sekuat tenaga saya menahan tangis. Untuk membuktikan saya pejantan. Meski tetap kurang tangguh. Tapi juga belum tambun. Namun tidak dapat saya sangkal, Itu adalah salah satu momen paling mengharukan dalam diri saya. Selain saat saya ketemu Zah Rahan di pesawat.


Setelah adzan, kita makan. Mi instan plus sarden. Diaduk jadi satu. Ozi bawa kompor. Ada panci kecil. Ada air. Ade jadi koki dadakan. Pisau dihunus. Sraaatttt... Bungkus mi dirobek. Pisau ditancapkan ditanah. Mi dimasukkan ke panci. Pisau dicabut dari tanah. Ditancapkan di kaleng sarden. Craaakkk... Kaleng sarden kebuka. Pisau dijilat ade. Lumayan sarden dikit. Pisau ditancapkan lagi ditanah. Sarden dimasukkan ke panci. Sreeett.. Pisau dicabut. Digunakan untuk mengaduk2 mi dan sarden biar berbaur. Terus terang waktu itu kalo ga lagi laper, mending saya puasa deh. Namun seperti salah satu adegan fear factor, kita jawab tantangan itu. Kita makan. membuktikan kalo kita pejantan. Meski tetap kurang tangguh. tapi juga belum tambun. Dan ajaib, saya merasa itu adalah makanan paling maknyus yang pernah saya makan. Bahkan sampe sekarang setelah lewat sepuluh tahun, saya masih bisa membayangkan rasa masakan mi sarden ala ade.


Ternyata dempo memiliki dua puncak. Dan puncak yang satu lagi memiliki kawah. Indah. Hanya itu yang bisa  saya deskribsikan untuk anda. Untuk kesana maka kita harus turun sedikit. Dan disini puncaknya sedikit luas. Inilah gunung dempo. Banyak yang ingin menaklukkannya dan saya berhasil disaat usia saya bahkan belum genap 17 tahun!





Maaf teman, cuma poto ini yang saya dapatkan.




6 comments:

  1. Wah Saya juga jadi teringat tentang SMA Q dolo... Hehehhe....

    ReplyDelete
  2. topu@makasih dah mampir.

    ReplyDelete
  3. Wuiihhh...sepertinya seru ya. Ingat masa2 SMA, pengen bisa ikutan naik gunung, tapi bisanya cuma ikutan hiking doang dlm kegiatan PMR. he he he..

    Keep intouch

    ReplyDelete
  4. wah, saya nggak pernah nyampe ke dempo tuh.. nggak dapet izin.. haha..
    jadi kangen pulang deh baca tulisan ini :D

    ReplyDelete
  5. sriayu@iya ibu, saya juga ga nyangka waktu itu bisa sampe ke puncak.

    andin@wah,,, salah seorang inspirator saya dalam menulis comment disini. Terima kasih, suatu kehormatan bagi saya.

    ReplyDelete
  6. wohoo.. mantab bisa sampe keatas sana. hehe.

    ReplyDelete