kulirihkan padamu
sedikit kaku
lima tahun
maukah kau menunggu?
kau mengangguk
kupikir
aku tak tahu pasti
aku bahkan tak berani menatapmu
kita bertemu lagi
wajahmu bersemu
ini baru lima bulan, kau setengah tak percaya
kita masih bocah belia
kumohon pikirkan sejenak
jika sekarang aku meminangmu
itu karena Allah sayang
itu karena Allah, Sayang
(Kijang Mas, Pelaihari 2015)
Dalam dua jam pertama perjalanan dari Pelaihari menuju pantai Pagatan, suasana di dalam bis masih sumringah. Semua penumpang masih tertawa, disusupi tiupan angin yang menampar wajah. Kami masih sempat berselfie ria menggunakan tongsis yang baru saja dibeli Haerul, khusus untuk mendokumentasikan perjalanan menuju pagatan.
Lambat laun, perjalanan semakin membosankan. Tiupan angin sudah mulai terasa membara. Kalau saja tak ada wanita di dalam bis, sudah saya tanggalkan pakaian karena gerah. Pemandangan sepanjang perjalanan tak lagi hijau. Kemarau menyebabkan rumput-rumput liar menjadi kerontang. Hal ini diperparah dengan debu-debu yang berterbangan menutupi hampir seluruh tanaman-tanaman liar hingga tampak berwarna kecoklatan.
Apalagi kalau sudah memasuki wilayah Sungai Danau. Aroma batubara menusuk hidung, tanah-tanah kering dan berdebu. Tidak ada lagi keindahan yang dapat kau saksikan sepanjang perjalanan. Tanah dan bukit kering menghitam di sepanjang pertambangan batu bara. Area tambang sendiri tidak jauh berkelang antara satu dengan yang lain.
Setelah lima jam perjalanan, rombongan KPPN Pelaihari akhirnya tiba di penginapan yang berada persis menghadap pantai. Saya sekamar dengan Hifni, anak baru penempatan di KPPN Pelaihari. Kesempatan besar untuk mencekokinya dengan pemikiran-pemikiran saya.
Pantainya sendiri tidak begitu indah. Masih sekelas dengan pantai batakan yang ada di Pelaihari. Air laut di sepanjang pantai cenderung kecoklatan. Namun dibandingkan batakan, ombak di pagatan lebih besar dan hantamannya tentu jauh lebih kuat. Disaat seperti ini, jiwa kekanakan saya sering muncul. Saat gulungan ombak datang, kadang saya menjadi Goku yang sedang mengeluarkan kamehame. Kadang menjadi Chinmi yang sedang berlatih kungfu peremuk tulang.
Saat malam keakraban, para peserta diminta maju untuk memberikan performance masing-masing. Ada yang beracapela, ada yang berkaraoke, ada juga yang bercerita mengenai pengalaman saat penempatan pertama. Saya sendiri saat diminta maju, bingung mau ngapain. Akhirnya saya beranikan diri melakukan standup comedy, dengan cerita yang saya dapat saat mendengarkan Almarhum K. H. Zainuddin, MZ ceramah mengenai santri, lebah dan Al-Mukarromnya.
Itu adalah untuk pertama kalinya saya melakukan standup comedy. Rasanya ngeri-ngeri sedap cuy! Entah lucu atau tidak. Ada juga teman-teman yang tidak berani karena takut tidak lucu. Saya berani. It's not because I'm over confidence, It's because I am arrogant. Lagi pula menurut saya, pelawak paling lucu adalah pelawak yang tidak lucu. Jadi tak ada salahnya bukan?
Ternyata keberanian saya melakukan standup comedy mendapat apresiasi dari atasan. Peserta yang berani maju dalam acara keakraban diberi hadiap berupa sebuah mug dan wadah makanan. Lumayan buat ngopi!
No comments:
Post a Comment