18 April 2010

kecap atom asin

Pagi ini berbeda dari biasanya. Malang yang dingin, ditemani dengan segelas kopi hangat. Srrrpp... Ah.... benar-benar nikmat. Tidak seperti kemarin-kemarin. Oh ternyata ada "tangan halus" yang membuatnya. Bukan jin dan kawan-kawan maksud saya. Istri tercinta. Saya membayangkan diri saya seperti yang digambarkan iklan-iklan di tipi. sembari meneguk kopi hangat. Memang lelaki sejati. Tanpa rokok tentu saja.
Saya teringat kejadian sebelum ini. Sabtu pagi saya berangkat Palembang-Jakarta-Malang. Naik pesawat. Saya bukan tipikal orang yang tidak bersyukur dengan membayangkan diri saya sebagai Superman yang bisa terbang. Atau Harry Potter yang punya sapu ajaib. Tidak. Sekitar pukul 10.25 pagi pesawat lepas landas. Kali ini on schedule. Sampe kontrakan di Malang sekitar pukul empat sore. Alhamdulillah lancar meski sempat diwarnai tangisan Fariha. Faaiz sepanjang perjalanan di pesawat tidur seperti tidak menggubris fakta bahwa di usianya yang ke empat bulan telah mencicipi naik pesawat. Sesuatu yang mungkin sepatutnya dirayakan oleh orang-orang seperti saya yang baru di usia 20an punya kesempatan yang sama.
Sampe di Malang belum ada apa-apa untuk di makan. Akhirnya istri memutuskan bahwa makan malam pake telor dadar. Ditemani kecap. Terasa agak seret di lidah mungkin, tapi karena bersama keluarga yah... tak mengapa.
Selepas isya' pulang dari masjid, saya pun singgah di warung samping masjid.
"Maaf bu, kecap atomnya ada?"


"Ada nak".
Si Ibu memberikan sebotol kecap ukuran kecil. Saya memperhatikan kecap produk lokal yang saya pegang sambil bersiap membayar.
"Eh... bukan kecap manis ibu, kecap atom."
"Kecap apa?"
"Kecap atom asin"
"Wah nak disini jarang yang jual kecap asin, ga ada yang beli nak."
"Ah Ibu becanda aja, makasih ya ibu."
Yah masih ada sekitar, saya menghitung 1...,2...,3..., warung lagi yang harus saya lewati dalam perjalanan pulang.
Di warung kedua ;
"Ibu ada kecap atom asin?"
"Oh ga ada nak."
Di warung ketiga ;
"Dek ada kecap atom asin?"
"Sek mas, tak tanyain mbah."
"Beli apa nak?"
"Kecap atom asin ada bu?"
"Wah ga ada nak."
Dan di warung terakhir pun bisa ditebak. Tidak ada. Mungkin di supermarket ada. Tapi yah sekedar belanja hal yang kira-kira ada di warung ya di warung aja. Itung-itung bantu tetangga. Daripada saya beli di supermarket yang pemiliknya tentu saja punya modal lebih besar dan jelas lebih berada dibanding pemilik warung. Meski supermarket terkadang menawarkan harga yang jauh lebih murah. Tapi kita belanja juga bukan sekedar itung-itungan materi bukan? Kalo iya wah ati-ati, mungkin kita mulai terjebak pada pemikiran kaum kapitalis. Rizqi itu Allah yang atur, tapi kemana kita membelanjakan rizqi yang diberikan itu adalah pilihan.
Ah jadi terlalu serius nih. Oke balik ke cerita awal. Akhirnya kita makan pake telor dadar. Untung ada sambe lengko buatan emak (ibu mertua, red.). Ditambah kerupuk dan kelempang yang dibawa dari Palembang. Dan tentu saja bersama keluarga. Rasanya lebih nikmat dari pecel ayam yang biasa saya beli ketika masih sendirian di Malang.

No comments:

Post a Comment