Saya termasuk orang yang tidak mudah panik. Jika ada sesuatu yang menimpa, saya akan terlebih dulu memikirkannya. Lama. Hingga saya terkesan tak acuh. Padahal bukan itu penyebabnya. Masalah yang ada itu ibarat system software. Begitu cepat berkembang dari gingerbeard hingga tau-tau sudah berubah menjadi kitkat. Sedangkan otak saya tidak pernah di upgrade sama sekali. Dengan prosessor yang masih menggunakan Intel Pentium dua.
Sepanjang ingatan, hanya tiga kali saya dilanda kepanikan
yang sangat. Itu dengan menghilangkan dua setengah tahun yang saya kira tidak
adil kalo dimasukkan ke dalam hitungan. Dua setengah tahun masa tugas belajar
saya. Ah, dua setengah tahun itu isinya jangan ditanya. Tiada hari tanpa
kepanikan dengan segala tugas perkuliahan dan sebagainya. Jadi sepakat ya? Saya
hilangkan variabel waktu dua setengah tahun berisi kepanikan dalam hidup saya.
Kepanikan pertama terjadi menjelang kelahiran anak pertama
saya, Fariha. Setelah mengantar istri ke rumah sakit bersalin, saya pulang ke
rumah untuk mengambil baju-baju persiapan melahirkan. Saat hendak berangkat kembali ke rumah sakit,
saya lupa dimana meletakkan kunci motor. Tak henti saya mencari, tak dapat saya
temukan kunci. Satu jam kemudian baru saya ingat kalo saya punya kunci
cadangan. Setelah sampai di rumah sakit, satu jam kemudian baru saya ingat kalo
kunci motor ada di saku jaket saya.
Selanjutnya saat saya baru saja selesai tugas belajar dan
melanjutkan dinas ke Pelaihari. Saya ditempatkan di middle office seksi Pencairan Dana. Singkatnya, tugas pokok saya
adalah mencetak SP2D, yaitu semacam surat perintah kepada bank untuk mencairkan
sejumlah dana ke rekening satuan kerja, dalam hal ini instansi pemerintah
pusat.
Saya buta dengan apa yang harus saya lakukan dengan
pekerjaan saya. Saat dinas di Sintang sebelum tugas belajar, saya tidak pernah
berada di seksi pencairan dana. Selama tugas belajar pun, saya tidak pernah
lagi mengupdate peraturan-peraturan
baru seputar perbendaharaan. Jadilah saya waktu itu seperti gamers yang kehilangan keyboard. Saya banyak bertanya pada
teman-teman yang sudah berpengalaman serta bekerja sambil membaca aturan.
Ibaratnya ujian semester dengan metode open
book. Bisa namun lama karena saya juga belum paham, buku mana yang mesti
saya buka.
Dan yang membuat saya panik adalah ketika dua teman satu
seksi saya berbarengan mengajukan cuti. Tinggallah saya bersama dengan Kepala Seksi.
Saya sebagai front office yang
menguji dokumen sekaligus sebagai pemroses dokumen. Dengan pengetahuan yang minim saya sangat
tidak berani menjadi pelaksana front
office. Terlebih, saat ada salah satu saudara kami yang ditetapkan sebagai
tersangka kasus kerugian negara karena dianggap lalai tidak bisa membedakan
tandatangan palsu dan asli!
Saya tidak tau apakah kegelisahan saya begitu terlihat
hingga Kepala Seksi saya berkata, “Tenang Bub, Kamu proses saja SP2D. Ga usah
ragu. Kamu yang kerjakan, Saya yang tanggungjawab.”
Saya tidak tau apakah Kepala Seksi saya tau, kalimat itu merupakan
obat penenang yang sangat ampuh. Untung saja saya tidak berlinang air mata
dihadapan beliau. Ibarat dalam medan perang, beliau adalah tipe seorang Jenderal yang membuat
kita rela untuk mati berjuang bersama.
Lalu yang terakhir adalah ketika Ayah saya sakit. Kau tau
kawan, setelah merenung dan berdiskusi dengan istri, Saya memutuskan untuk
meninggalkan pekerjaan saya. Berhenti dan mencoba mencari kerja di Palembang. Dan
saya tidak hanya sekedar berkata. Saya sudah memulai berwirausaha dengan
memelihara ikan lele di pekarangan rumah. Nantinya sambil memelihara lele, saya
juga akan berusaha mencari kerja. Apa saja, yang penting saya bisa menemani
ayah.
Sayang, ketika saya katakan keinginan saya kepada ayah,
beliau tidak meyetujui. Seperti biasa, beliau adalah tipikal orang yang tidak mau memberatkan orang lain
dan selalu merasa tidak ingin dikasihani. Akirnya saya urungkan niat untuk
berhenti kerja dengan berat hati, karena Jika Orang Tua saja tidak ridho,
bagaimana mungkin Allah akan memberi ridho?
Setahun lebih sudah saya disini, Pelaihari. Lambat laun saya
sedikit demi sedikit mulai memahami pekerjaan. Dan ternyata setelah kenal, saya
mulai menyukai pekerjaan saya. Kesibukan kerja bagai berkah yang tak terduga
karena tanpa sadar waktu merangkak begitu cepat terlebih saat istri sedang tak
disini menemani.
Tolong tunggu, sebentar saja. Aku juga bosan dengan selip rindu. Kau
tau, terkadang aku tak habis pikir. Seluas apa hati hingga ia mampu menampung
rindu yang kurasa tak bertepi.