27 June 2016

Jiwa

I have already found a male version of me long years ago. I may have just found a female version of me in you.

21 June 2016

The Man Unseen

Beberapa hari yang lalu saat baru datang ke kantor, ada selembar nota dinas di atas meja yang biasa saya pakai kerja. Isinya adalah jadwal pelaksanaan coaching oleh pimpinan kepada para pegawai. Jadwal coaching dilakukan satu per satu, jadi satu orang pegawai yang berperan sebagai coachee akan diwawancarai oleh pimpinan sebagai coach. Katanya sih fungsinya untuk meningkatkan kinerja pegawai yang bersangkutan. Coaching ini menjadi satu keharusan bagi pimpinan dan merupakan salah satu tupoksinya.

Yang jadi masalah nama saya ada di posisi teratas di nota dinas tersebut. Itu artinya jadwal pertama kali yang akan di coaching itu saya. Itu artinya saya akan ngobrol berdua dengan pimpinan dalam ruangan semi tertutup. Apa yang akan saya bicarakan nanti di hadapan wanita yang jadi pimpinan saya ini?!

Jangan salah, saya suka berbicara dengan wanita. Saya bukan tipikal pria yang mudah gemetar saat berhadapan dengan wanita. Meskipun dulunya iya hahahaha... Saya punya semacam kemampuan hebat dalam berbahasa yang hanya muncul kalau lawan bicara saya adalah seorang wanita. Mungkin karena saya menyukai psikologi manusia jadi terkadang saya mampu membuat wanita pendiam sekalipun, akan menumpahkan seluruh isi hatinya ke saya. Tapi ini coaching dude, bukan sesi curhat panjang via telepon versi anak SMA. Ini masalah serius.

Singkat cerita saya sudah berada di ruang pimpinan untuk melaksanakan sesi coaching. Saya dipersilahkan duduk di kursi tamu. Awalnya saya mengambil duduk berhadapan dengan beliau, namun kemudian bergeser pindah ke kursi sebelah kiri beliau. Bukan karena pembicaraan yang menghangat namun karena standar coaching mengharuskan coach dan coachee tidak boleh duduk berhadapan.

Awalnya agak kagok karena ini pertama kalinya bagi kami berdua bicara dari hati ke hati (halah). Saya terus terang tidak punya ide apa yang akan saya bicarakan. Saya lihat juga pimpinan membawa semacam catatan pertanyaan dan sesekali melirik ke arah catatan sebelum melemparkan beberapa perkataan ke saya. Saya juga berusaha melirik ke catatan tersebut namun gagal. Kemampuan saya nyontek masih kalah jauh dari kemampuan saya ngepek.

"Kalau berdasarkan SOP maka sesi coaching ini seharusnya dilaksanakan minimal satu jam. Namun untuk sesi kita kali ini yah sekitar setengah jam lebih dikit gapapalah," pimpinan memberi informasi d awal sesi.

(SOP artinya standard operating procedure, bukan sop yang ada brokoli, wortel, ayam, kadang daging, juga bukan dari nama seseorang yang bernama Sopiah. Coba bayangkan kalau seandainya aril dengan romantisnya berkata, "kamu udah makan sop?" bias bukan? -pen.)

"Sepuluh sampe lima belas menit juga gapapa bu," gumam saya yang lebih saya tujukan ke diri saya sendiri.

Pertanyaan-pertanyaan mengalir deras dari pimpinan, Jawaban-jawaban merangsek keluar dari mulut saya. Ternyata tema coaching kali ini adalah untuk mengetahui dan menggali penyebab beberapa kegagalan saya dalam tes beasiswa dan mencoba mencari solusi ampuh agar pada kesempatan berikutnya saya mampu lulus pada tes beasiswa yang saya inginkan.

"Mungkin kamu kurang bisa menunjukkan apa yang menjadi kelebihan kamu ke interviewernya," pertanyaan sekaligus pernyataan dari pimpinan sempat membuat saya berpikir sejenak.

Ya, saya boleh dibilang memang tidak terlalu suka menjadi orang yang berada di bawah lampu sorot. Saya bukan tokoh yang tepat untuk menjadi pemeran utama. Karena itu saya tidak terlalu suka memperlihatkan kepada siapa saja beberapa kemampuan saya, itu pun kalau kemampuan itu ada.

Dalam suatu keberhasilan, kalau memang ada peran serta saya di situ, saya lebih memilih untuk tidak terlihat. Bukan berarti saya risih untuk menjadi perhatian. Tidak. Sebagaimana layaknya seniman amatir, saya suka akan popularitas. Tapi saya memilih untuk menjadi supporting figure. Saya orang yang mendorong orang lain untuk maju menerima piala dan bertepuk tangan paling kencang tepat di belakangnya. Saya orang yang berada di tengah-tengah pusaran kejayaaan tapi bukan saya yang berada di depan. Saya seorang central midfielder, ada namun tak begitu terlihat. I am the man unseen.

Saya tidak begitu peduli apakah pimpinan saya akan paham dengan perkataan-perkataan saya. Saya sendiri juga terkadang bingung dengan kata-kata yang mengalir dari lisan saya. Satu yang pasti, sesi yang menurut perkiraan saya hanya berlangsung selama 15 menit ternyata mampu memakan waktu nyaris satu jam (atau lebih?). Itu diluar perkiraan saya. Sungguh! Mungkin karena sejatinya pimpinan kami adalah seorang wanita.